Maladministrasi
Perda Angkutan Batubara
Shopian
Hadi*
Aktifitas
penambangan batubara merupakan masalah yang tidak tuntas di Provinsi Jambi. Masalah
itu mulai dari penambangan batubara yang diduga banyak tidak memiliki dan
menyalahi izin, tidak melakukan reklamasi, hingga masalah transportasi batubara
yang menggunakan jalan umum dan menganggu kenyamanan masyarakat. Diberlakukan Peraturan
Daerah Provinsi Jambi Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Pengaturan Pengangkutan Batubara Dalam Provinsi Jambi dan Peraturan Gubernur
Jambi Nomor 18 Tahun 2013 sebagai petunjuk pelaksanaan pengangkutan batubara
yang dibumbui dengan protes sopir angkutan batubara menimbulkan harapan besar
masyarakat. Tetapi lemahnya pelaksanaan aturan itu sepertinya membuat masyarakat
kembali tidak percaya dan menilai pemerintah tidak berdaya menertibkan angkutan
batubara.
Selain merugikan masyarakat, lemahnya
pelaksanaan Perda dan Pergub tersebut, sebenarnya juga memperlihatkan
pelanggaran yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Yaitu Pemda dalam
hal ini pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota melakukan maladministrasi
terkait dengan pelayanan publik, yang mana kenyamanan masyarakat penggunakan
jalan umum (publik road) terganggu
dengan angkutan batubara. Dari hal itu bisa dilihat, Perda dan Pergub menjadi
penting diterapkan dan dilaksanakan oleh instasi terkait. Pembiaran dan tindakan
pemerintah melalui instasi terkait yang tidak melaksanakan penertiban angkutan
batubara sesuai Perda dan Pergub itu merupakan maladministrasi.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi adalah prilaku
atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk
tujuan lain dari yang menjadi wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian
kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggaran Negara dan
pemerintahan yangn menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagai
masyarakat dan orang persorangan. Dalam hal ini terlihat pemerintah daerah melakukan
perbuatan melawan hukum, pengabaian kewajiban hukum, dan kelalaian pemerintah.
Lebih jauh lagi, bila dilihat dari
pembagian bentuk tindakan maladministrasi yang dilakukan aparatur pemerintah,
pembiaran terhadap angkutan batubara tersebut termasuk kedalam Defektive Policy Implementation. Yaitu
kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi. Selain peraturan
perundangan, keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik yang hanya
berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi
tidak sampai ditindaklanjuti menjadi kenyataan juga merupakan maladministrasi.
Janji Pemprov Jambi untuk membangun jalan khusus batubara dan tidak terlaksana,
bisa juga dilihat demikian.
Sebaliknya dalam hal ini, masyarakat
yang terlanjur berharap patut menduga pemerintah melalui aparatur dan instasi
terkait tidak serius menangani penertiban batubara. Masyarakat bisa menilai,
upaya penetapan Perda, pembangunan jalan khusus, hingga janji menindak tegas
merupakan sebuah penyakit birokrat sebagai upaya menenangkan gejolak massa
sesaat ketimbang solusi jangka panjang dan permanen. Hal ini bisa dilihat dari
pernyataan-pernyataan di media dan saat menanganai unjukrasa atau pemblokiran
terkait protes angkutan batubara.
Selain itu lemahnya pelaksaan Perda dan
Pergub tersebut bisa juga dilihat dari lemahnya nilai tawar Pemda maupun
instasi terkait dengan pihak pengusaha batubara. Kepentingan politik dan
pribadi pihak terkait bisa jadi menjadi salah satu pemicu lemahnya pengawasan
itu. Kurangnya koordinasi penanganan antara Pemda, Dishub, dan polisi dalam
pengawasan angkutan batubara ikut menjadi faktor tidak terlaksanakan Perda ini.
Bahkan keberadaan jembatan timbang dan petugas Dishub yang diharapkan bisa
menindak, juga tidak bisa diharapkan. Justru bisa dilihat menimbulkan
pelanggaran baru seperti pungli.
Solusi dari masalah angkutan batubara di
Jambi sebenarnya ada pada Pemda dan pihak terkait yang memang memiliki
keinginan untuk melakukan penertiban dan memberikan pelayanan kepada pengguna
jalan umum. Upaya agar batubara melewati sungai patut juga menjadi kajian dan
solusi terbaik karena sudah ada beberapa pengusaha yang melakukannya. Tindakan
tegas dan tidak mentolerir dalih pengusaha yang mengangkut batubara melalui
jalan umum menjadi kunci utama. Bila tidak, maka upaya pemerintah melalui
wacana, janji dan Perda Nomor 13 Tahun
2012 dan Pergub Nomor 18 Tahun 2013 sebagai sebagai sebuah bentuk kepalsuan,
dan berdiam diri pemerintah yang merugikan masyarakat Jambi.
*penulis adalah Asisten Ombudsman
RI Perwakilan Jambi.
Komentar
Posting Komentar